Cerpen ini sebenarnya pernah saya ikutkan di sayembara Taman Fiksi, dan gagal. Tapi ternyata Om Farick Ziat memberi kesempatan untuk ditayangkan di Tamanfiksi.com. Terima kasih, Om.
Well, selamat membaca cerpen sangat sederhana ini :)
NEK DARMI
Sepulang dari kantor, kudapati banyak warga berkumpul di tepi jalan tepat di depan rumahku. Ada juga Pak RT dan beberapa orang pegawai kelurahan. Dari masing-masing wajah aku dapat membaca, ada sebuah kengerian yang begitu kentara. Beberapa ibu dan anak gadis bahkan sampai meneteskan air mata.
“Ada apa, Bu?” tanyaku pada Bu Ros, tetangga sebelah rumahku yang memakai daster batik dengan sebuah centong nasi di genggaman tangan kanannya.
Bu Ros tak menjawab, ia malah menatapku pilu. Badannya yang agak tambun sedikit bergetar. Aku tak dapat membaca arti tatapan itu.
Kuabaikan Bu Ros. Aku beralih pada Bu Dina, pemilik warung kelontong di sebelah rumah Bu Ros. Sama saja, tak berbeda jauh dengan reaksi Bu Ros, Bu Dina juga menatapku, tanpa menjawab. Kulihat perlahan air mata meleleh dari matanya yang sudah memerah sejak pertama kulihat tadi. Eyeliner yang sehari-hari selalu menghias wajah cantiknya ikut luntur.
Ah, aku makin tak mengerti. Mengapa semua orang menunjukan reaksi serupa? Kembali kuamati wajah-wajah yang ada di sekitarku. Ya, hampir dibingkai ekspresi yang sama. Obrolan yang keluar di antara mereka pun begitu kabur untuk kumengerti.
Mataku menangkap sosok Pak RT yang baru selesai menelepon. Dengan yakin aku melangkah ke arahnya, berharap mendapat jawaban pasti. Laki-laki kurus tinggi berkemeja coklat khas seragam PNS itu kaget melihatku datang dengan tampang bingung. Raut wajahnya pun tak begitu berbeda dengan orang-orang sebelumnya yang kutemui. Aku jadi semakin penasaran.
“Sekar, Nek Darmi….”
“Nek Darmi? Ada apa dengan Nek Darmi?” Aku mengerutkan kening.
“Nek Darmi….”
***
Nek Darmi. Saat pertama kali melihatnya tiga tahun lalu, kupikir dia seorang laki-laki. Cara berpakaiannya yang selalu mengenakan kain sarung dipadu kaos oblong yang sudah lusuh, rambutnya yang sudah putih semua selalu digelung menyerupai konde kecil, juga gesture tubuhnya yang tidak seperti sewajarnya seorang perempuan yang sudah lanjut usia, membuat ia berbeda. Ditambah lagi ia juga perokok berat. Entah berapa usianya sekarang, mungkin sekitar 70 tahun, atau bahkan lebih. Kerutan-kerutan di wajah dan kulitnya jelas menegaskan bahwa perempuan itu tak lagi muda.
Kondisi rumah Nek Darmi yang hanya berdinding papan ala kadarnya, sangat kontras dengan rumah-rumah di pemukiman ini yang sudah berdinding permanen. Nek Darmi hanya tinggal berdua dengan seorang anak laki-laki bertubuh kurus berusia sekitar 7 tahun, bernama Dito. Mungkin cucunya.
Pernah suatu kali aku mengajaknya tinggal bersamaku—kebetulan aku tinggal sendiri, tapi ia menolak.
“Nenek tidak terbiasa tinggal di rumah bagus, Sekar,” jawabnya ketika itu.
Aku beberapa kali mencoba merayunya, tapi tak pernah berhasil. Aku juga tidak tahu apa sebenarnya pekerjaan Nek Darmi. Dari mana ia memiliki uang untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari bersama Dito? Bahkan aku tidak pernah melihat ada keluarga yang mengunjunginya, pun di saat lebaran. Hidupnya terlalu tertutup, seperti pintu rumahnya yang selalu tertutup untuk orang lain.
Yang kutahu, Nek Darmi itu berangkat pagi-pagi buta dan akan kembali sebelum Maghrib. Tentu saja Dito selalu ikut bersamanya. Orang-orang beranggapan kalau Nek Darmi itu menjadi pemulung, pengemis, bahkan ada yang bilang menjadi pencopet. Entahlah, aku tak pernah berani menanyakan hal itu, takut menyinggung perasaannya. Tapi sejauh ini, aku tak pernah melihatnya berlaku “nakal” atau pun mengarah kepada sesuatu yang kriminal.
Kecuali malam itu, ketika baru sebulan aku pindah ke rumah ini. Rumah bekas kakakku yang sekarang tinggal di Solo. Teman-teman kuliahku datang tengah malam untuk memberikan kejutan di tanggal ulang tahunku. Suasana mulai agak rusuh ketika aku keluar dan mereka mengerjaiku dengan segala macam tingkah konyol.
Berisik. Sudah pasti itu yang dirasakan rumah-rumah sekitar. Beruntung keluarga Bu Ros sedang ke luar kota. Kalau tidak, mungkin dia sudah memarahi kami habis-habisan. Di tengah keriuhan tawaku bersama teman-teman, tiba-tiba Nek Darmi muncul membawa sebuah belati yang kelihatannya sangat tajam.
“Hey, kalau kalian masih berisik, aku robek mulut kalian satu persatu!” ancamnya sambil mengacungkankan belati ke arah kami.
Suasana mendadak hening. Aku gemetar. Beberapa temanku terlihat pucat.
“Kalau mau berisik sana, di neraka!” Mata Nek Darmi melotot lebar. Sangat menyeramkan.
Takut-takut aku medekatinya. Tubuhku bergetar hebat. “Ma-mafkan kami, Nek, sudah mengganggu… istirahat Nenek.” Aku terbata.
Nek Darmi tak menjawab. Ia berbalik lalu kembali masuk ke rumahnya yang temaram.
Setelah kejadian itu, tiap kali melihatku, pandangan Nek Darmi selalu tajam dan seolah ingin menerkamku. Sepertinya ia sangat membenciku. Bahkan tiap kali kusapa, tak pernah sekalipun ia merespon. Pernah aku mencoba minta maaf dengan berkunjung ke rumahnya, membawa kue sebagai buah tangan. Jangankan menerima maafku, membukakan pintu saja tidak. Perempuan tua itu seolah membangun perisai untuk melindungi kehidupannya dari gangguanku.
Tapi, semenjak aku tak sengaja menolongnya saat ia hampir tertimpa runtuhan bangunan tetangga kami saat ada gempa—aku refleks menarik tangannya kala itu, sikapnya mulai melunak kepadaku.
Ya, Nek Darmi memang keras. Tapi ia sangat tahu bagaimana caranya berterimakasih dan menghargai kebaikan seseorang. Karena itulah, walaupun kelihatan galak, tapi warga di pemukiman ini selalu ramah dan baik padanya.
***
Sudah dua hari, saat akan berangkat kerja, aku melihat Nek Darmi ada di rumah.
“Nek,” sapaku saat melintas di depan rumahnya. Nek Darmi sedang menumbuk beberapa lembar daun—entah daun apa—di atas sebuah batu kali agak besar yang tergeletak di halaman rumahnya yang sempit.
Nek Darmi menoleh. Kulihat mata tuanya agak sayu. “Eh, Sekar.” Ia terbatuk.
“Nenek sakit?”
Nek Darmi kembali terbatuk. “Ah, tidak.”
Khawatir, aku menghampirinya. Wajahnya pucat. Sepertinya ia memang sedang sakit. “Nenek sakit apa?"
“Nenek tidak apa-apa, hanya kurang istirahat.”
Meski agak ragu, aku memberanikan diri menyentuh keningnya. “Astaga, badan Nenek panas sekali! Nenek harus istirahat dan minum obat. Ayo Sekar antar Nenek ke dokter,” kataku panik sambil mencoba meraih tubuhnya yang sedang berjongkok.
“Tidak, Sekar, Nenek baik-baik saja. Sudah sana kamu berangkat kerja, nanti terlambat hanya karena mengurusi nenek.”
“Tidak, Nek. Sekar akan membawa Nenek ke dokter. Nenek harus mau. Sekar tidak mau nenek sakit.”
Nek Darmi membanting batu kolar sebesar genggaman yang sejak tadi digunakan untuk menumbuk dedaunan. Matanya menatap tajam. “Sudah Nenek bilang, Nenek tidak mau! Kamu tidak dengar?!” suara Nek Darmi meninggi.
“Tapi, Nek….”
“Pergi!” usirnya kasar. Ia mendorong tubuhku hingga aku hampir terjatuh. Ia bangkit, kemudian masuk dengan membanting pintu.
***
Panasnya masih tinggi. Aku meletakkan sehelai handuk kecil yang kulipat menjadi dua di dahi Nek Darmi sebagai pengompres.
Ternyata seperti ini kondisi bagian dalam rumah Nek Darmi. Ini pertama kalinya aku masuk. Sangat berbeda jauh dengan rumahku yang berisi barang-barang dan perabot yang cukup bagus. Di rumah papan yang kecil ini—kira-kira 8 x 5 meter—hanya terdapat barang-barang sederhana yang hampir semuanya terlihat usang dan tak lagi layak pakai.
Balai yang kini menjadi pembaringan tubuh lemah Nek Darmi yang sedang terlelap, adalah satu-satunya tempat tidur yang digunakan berdua dengan Dito. Lantainya hanya berupa tanah, yang jika hujan turun dan air menetes dari atap yang bocor, maka tanah ini akan tergenang air dan menjadi becek. Pengap. Itu yang aku rasakan saat baru menginjakkan kaki di rumah ini. Suara cicak yang bersahutan seolah menambah kesan buram keadaan rumah Nek Darmi.
Kalau saja Nek Darmi tidak sedang sakit, mungkin ia tidak akan mengijinkanku berada di sini. Dengan sedikit rayuan, akhirnya tadi Dito mau membukakan pintu rumahnya. Mungkin bocah laki-laki itu juga kasihan melihat neneknya sakit tapi tidak ada yang mengurusi.
“Kenapa kamu ada di sini, Sekar?” tanya Nek Darmi mengagetkanku yang sedang terkantuk-kantuk di sisi tempat tidurnya. Kulirik jarum jam di pergelangan tangan kiri, pukul 9 malam lewat 10 menit. Sudah hampir empat jam aku di sini. Kutengok juga Dito yang sudah tertidur pulas di sebelah Nek Darmi.
“Nenek sudah bangun? Nenek mau makan? Setelah itu minum obat, ya?”
“Lebih baik kamu pulang, Sekar. Nenek tidak apa-apa.” Lagi, ia terbatuk.
“Tidak, Nek, Sekar mau di sini, merawat Nenek.”
Kulihat tubuh Nek Darmi begitu lemah. Sepertinya kali ini sakitnya cukup serius. Pelan-pelan aku menyuapkan bubur yang tadi kubeli di perjalanan pulang kantor. Aku sungguh merasa iba melihat kondisi mereka.
“Nenek tahu prasangka orang-orang tentang Nenek. Pemulung, pengemis, pencopet, tukang hipnotis, dan banyak lagi. Apa kamu juga berpikir seperti itu tentang Nenek, Sekar?” Nek Darmi membuka obrolan usai meneguk sedikit teh yang kubuatkan. Buburnya hanya dimakan sedikit.
Aku menggeleng samar. Tapi dalam hati aku memang penasaran tentang kebenaran akan hal tersebut.
“Nenek maklum, kalau kamu dan orang-orang di sini bertanya-tanya tentang apa pekerjaan Nenek yang sebenarnya. Mungkin bagi kalian kehidupan Nenek agak aneh. Nenek bukan bermaksud untuk menutup diri, tapi Nenek rasa tidak perlu menunjukkan bagaimana kehidupan Nenek pada orang lain kalau hanya untuk dikasihani. Selama Nenek tidak menyusahkan orang lain, bagi Nenek itulah kehidupan yang nyaman.”
Aku mendengarkan dengan saksama sambil memijit-mijit pelan kaki perempuan sepuh itu. Ia kemudian bercerita tentang kehidupan masa lalunya yang buram sejak kecil, hingga menjadikannya sosok yang tegar dan keras seperti sekarang.
Ia bercerita tentang pendaharan hebat yang dialaminya saat sedang hamil lima bulan, hingga embuat rahimnya bermasalah dan harus diangkat. Itulah salah satu alasan sang suami meninggalkannya, karena tak bisa memberi keturunan. Dan sampai sekarang ia tak lagi mau mengenal pernikahan. Tentang pekerjaan sebenarnya yang ia geluti sebagai kuli panggul di pasar dengan penghasilannya yang tak seberapa, juga tentang Dito yang ia angkat sebagai cucu lima tahun lalu, saat ia tak sengaja menemukan Dito di sisi rel kereta api.
Cerita Nek Darmi seolah menyentil naluri kemanusiaanku. Inilah potret nyata kehidupan Ibukota yang—katanya—menjanjikan hidup sejahtera dan mewah, tapi sayangnya hanya berlaku bagi sebagian orang. Sementara bagi sebagian yang lain, bisa saja menjadi neraka. Nek Darmi adalah penduduk asli Jakarta. Ia lahir dan besar di Kota Metropolitan ini, tapi kehidupannya sungguh jauh berbeda denganku—dan kebanyakan yang lain—yang hanya berstatus sebagai pendatang.
Kalau aku ada di posisi mereka, mungkin aku tak akan sanggup bertahan. Tapi dari mata Nek Darmi, aku melihat begitu banyak ketegaran dan kekuatan. Mungkin itulah alasan kenapa ia bisa bertahan sampai saat ini tanpa harus meminta bantuan pada orang lain.
Ada satu yang mengganggu pikiranku dari sekian banyak cerita yang dituturkan Nek Darmi. Sebaris kalimat dan harapan sederhana, tapi kuyakin itu berarti sangat besar baginya.
“Nenek sangat ingin mempunyai anak perempuan, Sekar.”
***
“Nek, kenalkan, ini Laras,” kataku.
Aku membawa seorang gadis berusia 15 tahun yang tak sengaja kutemui sedang duduk menangis di bawah jembatan penyebrangan.
Menurut ceritanya, ia adalah seorang anak yatim piatu yang ditinggal meninggal oleh kedua orang tuanya tujuh bulan lalu, saat keluarga kecil itu hijrah dari desa terpencil di Kalimantan untuk mengadu nasib di Jakarta. Bus yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dan orangtuanya meninggal di tempat. Ia tak punya kenalan seorang pun di kota ini. Sementara untuk menghubungi saudara di desa pun ia tak memiliki akses.
“Laras ini sebatangkara, Nek. Mungkin Nenek mau menerimanya di sini untuk menjadi … anak Nenek,” ucapku hati-hati.
Nek Darmi mengamati Laras dengan saksama, lalu menatapku dalam. Dadaku berdebar kencang, takut kalau ia tersinggung. Kakinya maju selangkah. Perlahan, bibirnya menyunggingkan sebuah senyum.
“Ya. Tentu saja,” katanya pendek.
Aku luar biasa gembira. Aku langsung memeluknya. Kemudian berganti memeluk Laras. Barulah dua perempuan beda generasi itu berpelukan.
Hari-hari berikutnya, kulihat hidup Nek Darmi lebih ceria. Laras anak yang rajin. Selain membantu Nek Darmi mengurus rumah, Laras juga ikut bekerja di pasar. Kulihat ia pun begitu menyayangi Dito. Aku lega. Setidaknya, keinginan Nek Darmi untuk mempunyai anak perempuan bisa terwujud, meski bukan lahir dari rahimnya sendiri.
Hampir empat bulan sejak pertama kali aku membawa Laras ke hadapan Nek Darmi, sampai ada kejadian sore ini.
***
“Nek Darmi….” Pak RT menggantung jawabannya. Ia menatapku lekat. Dan jawaban yang keluar selanjutnya sama sekali tak terlintas di kepalaku. “Nek Darmi mengalami musibah. Kepalanya dipukul dengan batu. Menurut Dito, yang melakukannya adalah Laras, karena anak itu bersikeras minta dibelikan handphone. Karena Nek Darmi tak memiliki uang, mereka bertengkar. Sampai akhirnya Laras memukul Nek Darmi dengan batu bata pengganjal meja.”
Ya, Tuhan, ini seperti mimpi. Seketika air mataku meleleh. Aku merasakan getaran hebat di kakiku, hingga hampir saja ambruk. Beruntung di belakangku ada tembok pagar yang dapat menopang tubuh lemahku.
Kulihat tubuh Nek Darmi digotong ke ambulan dan segera dilarikan ke rumah sakit. Sebelum ambulan itu melaju, aku bergegas meminta ijin kepada petugas rumah sakit untuk ikut masuk, menemani Dito dan Pak RT.
Hatiku rasanya hancur melIhat Nek Darmi terbaring lemah di dalam ruang UGD. Aku yang membawa Laras ke dalam kehidupannya. Itu artinya akulah sumber malapetaka yang menimpa perempuan tua tua itu. Aku, gadis bodoh yang dengan sembarangan membawa orang yang tak dikenal. Dan aku… aku harus menebus semua dosa dan kesalahanku pada Nek Darmi dan Dito.
***
Setelah hampir 48 jam Nek Darmi tak sadarkan diri, akhirnya ia membuka matanya. Kebetulan aku berada di sisinya saat ia sadar. Aku bergegas memanggil dokter.
Hening. Aku merasa malu dan canggung. Tapi aku segera menguasai diri. “Nek, maafkan Sekar. Semua ini terjadi karena Sekar. Kalau saja Sekar tidak membawa Laras ke rumah Nenek, miungkin—“
“Sudah, Sekar, tidak usah mebahas tentang itu. Lupakan. Nenek tidak mau mengingatnya lagi,” kata Nek Darmi pelan tapi tegas.
“Baiklah. Tapi, satu hal, Nek. Setelah keluar dari rumah sakit nanti, Nenek dan Dito harus tinggal bersama Sekar. Ijinkan Sekar merawat Nenek. Ijinkan Sekar… untuk menjadi anak perempuan Nenek.” Aku berkata tanpa keraguana sedikit pun.
Kulihat air mata pelahan mengalir dari sudut mata tua itu. Ada pancaran yang tak kumengerti dari tatapan Nek Darmi. Ia tersenyum, lalu mengangguk pelan. ***