Senin, 04 Mei 2015

Percikan : Surat Cinta Merah Jambu. Dimuat di majalah Gadis nomor 11 edisi 17 - 27 April 2015


Alhamdulillah. Ini adalah karya pertama yang berhasil menembus media. Saat pertama dikabari, awalnya nggak percaya. Tapi setelah lihat kebenarannya, langsung speechless. Gemeteran. Hihi. Norak ya?

Proses penulisan yang kurang lebih dua jam kemudian langsung kirim hari itu juga, dan proses pemuatan empat belas hari semenjak kirim, bikin rasa nggak percayanya ada di level tertinggi. Karena sebelumnya kirim cerpen sejak Januari nggak berkabar sampai sekarang. Huhu.

Semoga ini bisa menjadi cambuk tersendiri bagi saya untuk terus belajar dan berkarya lebih baik.
Well, selamat membaca :)


SURAT CINTA MERAH JAMBU


Wow!
Benar-benar sulit dipercaya!
Ini pertama kalinya dalam hidupku mendapat surat cinta. Surat cinta! Dari tulisan yang tertera di muka amplop jelas: “Untuk Riana”.
Untukku.
Aku penasaran, siapa yang di zaman secanggih ini masih begitu romantis meletakkan amplop berwarna merah jambu bermotif hati ini di laci mejaku? Pelan-pelan aku membukanya…

Riana yang manis…
Kurasa, aku terlalu pengecut untuk mengungkapkannya langsung padamu, tentang rasa yang tertanam dalam hati kecilku. Siapalah aku…?
Aku bukan pemuda gagah bertopeng yang selalu membawa bunga mawar seperti dalam kartun Sailor Moon di masa kecil dulu, pun bukan Edward Cullen yang punya pesona begitu besar di mata para gadis. Aku hanya sebatang ranting pinus yang teronggok di antara belantara. Tak memiliki karisma yang dapat memikat hati.
Aku tak datang dengan membawa keindahan warna-warni pelangi, juga tidak dengan melantunkan syair-syair peluluh jiwa. Aku datang membawa sebuah ketulusan. Sebuah rasa yang ingin kuungkap padamu. Kau membuat hidupku lebih indah….
Dari yang selalu memimpikanmu,
Panji Hartanto.

Demi apa pun!
Aku serasa ingin meleleh membaca surat singkat ini. Surat yang begitu indah bagiku. Tunggu.
Panji Hartanto? Jadi surat ini dari Panji Hartanto? Ketua ekskul mading yang pendiam itu? Oh, sungguh di luar dugaan.

***

Tanganku bergetar saat meletakkan surat balasan di laci mejaku. Keadaan kelas sudah sepi, karena lima menit yang lalu bel pulang sudah berbunyi nyaring. Semoga surat balasan yang kutulis di perpustakaan saat jam istirahat tadi tidak terkesan norak di mata Panji.
Memang tidak seromantis surat darinya yang ditulis di atas kertas yang sangat manis. Aku hanya menuliskannya di lembaran buku tulis biasa dan kumasukkan dalam amplop putih yang kubeli di koperasi. Tapi semoga ini bisa menjadi celah untukku melepas status jomblo akut.
Ya… walaupun sebelumnya aku tidak memiliki perasaan apa pun untuk Panji, tapi mungkin semua bisa dimulai dari sini. Bukankah cinta bisa tumbuh karena kebersamaan?
Esok paginya, aku kembali menemukan surat dengan wujud yang sama. Di surat ke dua ini, ia memintaku menunggunya di kelas usai jam pulang sekolah, katanya ingin mengantarku pulang. Ya ampun, ini akan menjadi pengalaman pertama untukku; diantar pulang oleh seorang pemuda yang… ah, aku tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya.

***

Kulihat di kejauhan, Panji berjalan menuju kelasku. Langkahnya panjang namun terlihat gugup. Aku lebih gugup lagi. Aku merasakan tubuhku mulai berkeringat. Semoga tidak bau.
“Hai,” sapa Panji yang muncul di ambang pintu.
“Ha-hai.” Sumpah, aku grogi setengah mati!
“Mana Riana?” tanyanya sambil melongok ke seluruh penjuru kelas.
Aku bingung dengan pertanyaannya. “Aku Riana.”
Kini ekspresi bingung itu beralih ke wajah Panji. Ia mengerutkan kening, lalu tersenyum. “Aku serius. Mana Riana? Kami sudah janjian.”
“Panji, jangan menggodaku seperti itu. Aku Riana, yang beberapa hari ini selalu kamu kirimi surat merah jambu itu.”
Raut bingung di wajah Panji bertambah. “Tapi, Riana yang kumaksud, yang selalu memakai bando berwarna merah. Bukan kamu…” ucapnya hati-hati.
Ya, Tuhan, itu Diana! Teman semejaku. Jadi… ini hanya… salah alamat?! ***