Selasa, 20 Desember 2016

Cerpen Nek Darmi Tayang di Taman Fiksi Edisi 13

Cerpen ini sebenarnya pernah saya ikutkan di sayembara Taman Fiksi, dan gagal. Tapi ternyata Om Farick Ziat memberi kesempatan untuk ditayangkan di Tamanfiksi.com. Terima kasih, Om.

Well, selamat membaca cerpen sangat sederhana ini :)

NEK DARMI

Sepulang dari kantor, kudapati banyak warga berkumpul di tepi jalan tepat di depan rumahku. Ada juga Pak RT dan beberapa orang pegawai kelurahan. Dari masing-masing wajah aku dapat membaca, ada sebuah kengerian yang begitu kentara. Beberapa ibu dan anak gadis bahkan sampai meneteskan air mata.

“Ada apa, Bu?” tanyaku pada Bu Ros, tetangga sebelah rumahku yang memakai daster batik dengan sebuah centong nasi di genggaman tangan kanannya.

Bu Ros tak menjawab, ia malah menatapku pilu. Badannya yang agak tambun sedikit bergetar. Aku tak dapat membaca arti tatapan itu.

Kuabaikan Bu Ros. Aku beralih pada Bu Dina, pemilik warung kelontong di sebelah rumah Bu Ros. Sama saja, tak berbeda jauh dengan reaksi Bu Ros, Bu Dina juga menatapku, tanpa menjawab. Kulihat perlahan air mata meleleh dari matanya yang sudah memerah sejak pertama kulihat tadi. Eyeliner yang sehari-hari selalu menghias wajah cantiknya ikut luntur.

Ah, aku makin tak mengerti. Mengapa semua orang menunjukan reaksi serupa? Kembali kuamati wajah-wajah yang ada di sekitarku. Ya, hampir dibingkai ekspresi yang sama. Obrolan yang keluar di antara mereka pun begitu kabur untuk kumengerti.

Mataku menangkap sosok Pak RT yang baru selesai menelepon. Dengan yakin aku melangkah ke arahnya, berharap mendapat jawaban pasti. Laki-laki kurus tinggi berkemeja coklat khas seragam PNS itu kaget melihatku datang dengan tampang bingung. Raut wajahnya pun tak begitu berbeda dengan orang-orang sebelumnya yang kutemui. Aku jadi semakin penasaran.

“Sekar, Nek Darmi….”

“Nek Darmi? Ada apa dengan Nek Darmi?” Aku mengerutkan kening.

“Nek Darmi….”

***

Nek Darmi. Saat pertama kali melihatnya tiga tahun lalu, kupikir dia seorang laki-laki. Cara berpakaiannya yang selalu mengenakan kain sarung dipadu kaos oblong yang sudah lusuh, rambutnya yang sudah putih semua selalu digelung menyerupai konde kecil, juga gesture tubuhnya yang tidak seperti sewajarnya seorang perempuan yang sudah lanjut usia, membuat ia berbeda. Ditambah lagi ia juga perokok berat. Entah berapa usianya sekarang, mungkin sekitar 70 tahun, atau bahkan lebih. Kerutan-kerutan di wajah dan kulitnya jelas menegaskan bahwa perempuan itu tak lagi muda.

Kondisi rumah Nek Darmi yang hanya berdinding papan ala kadarnya, sangat kontras dengan rumah-rumah di pemukiman ini yang sudah berdinding permanen. Nek Darmi hanya tinggal berdua dengan seorang anak laki-laki bertubuh kurus berusia sekitar 7 tahun, bernama Dito. Mungkin cucunya.

Pernah suatu kali aku mengajaknya tinggal bersamaku—kebetulan aku tinggal sendiri, tapi ia menolak.

“Nenek tidak terbiasa tinggal di rumah bagus, Sekar,” jawabnya ketika itu.

Aku beberapa kali mencoba merayunya, tapi tak pernah berhasil. Aku juga tidak tahu apa sebenarnya pekerjaan Nek Darmi. Dari mana ia memiliki uang untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari bersama Dito? Bahkan aku tidak pernah melihat ada keluarga yang mengunjunginya, pun di saat lebaran. Hidupnya terlalu tertutup, seperti pintu rumahnya yang selalu tertutup untuk orang lain.

Yang kutahu, Nek Darmi itu berangkat pagi-pagi buta dan akan kembali sebelum Maghrib. Tentu saja Dito selalu ikut bersamanya. Orang-orang beranggapan kalau Nek Darmi itu menjadi pemulung, pengemis, bahkan ada yang bilang menjadi pencopet. Entahlah, aku tak pernah berani menanyakan hal itu, takut menyinggung perasaannya. Tapi sejauh ini, aku tak pernah melihatnya berlaku “nakal” atau pun mengarah kepada sesuatu yang kriminal.

Kecuali malam itu, ketika baru sebulan aku pindah ke rumah ini. Rumah bekas kakakku yang sekarang tinggal di Solo. Teman-teman kuliahku datang tengah malam untuk memberikan kejutan di tanggal ulang tahunku. Suasana mulai agak rusuh ketika aku keluar dan mereka mengerjaiku dengan segala macam tingkah konyol.

Berisik. Sudah pasti itu yang dirasakan rumah-rumah sekitar. Beruntung keluarga Bu Ros sedang ke luar kota. Kalau tidak, mungkin dia sudah memarahi kami habis-habisan. Di tengah keriuhan tawaku bersama teman-teman, tiba-tiba Nek Darmi muncul membawa sebuah belati yang kelihatannya sangat tajam.

“Hey, kalau kalian masih berisik, aku robek mulut kalian satu persatu!” ancamnya sambil mengacungkankan belati ke arah kami.

Suasana mendadak hening. Aku gemetar. Beberapa temanku terlihat pucat.

“Kalau mau berisik sana, di neraka!” Mata Nek Darmi melotot lebar. Sangat menyeramkan.

Takut-takut aku medekatinya. Tubuhku bergetar hebat. “Ma-mafkan kami, Nek, sudah mengganggu… istirahat Nenek.” Aku terbata.

Nek Darmi tak menjawab. Ia berbalik lalu kembali masuk ke rumahnya yang temaram.

Setelah kejadian itu, tiap kali melihatku, pandangan Nek Darmi selalu tajam dan seolah ingin menerkamku. Sepertinya ia sangat membenciku. Bahkan tiap kali kusapa, tak pernah sekalipun ia merespon. Pernah aku mencoba minta maaf dengan berkunjung ke rumahnya, membawa kue sebagai buah tangan. Jangankan menerima maafku, membukakan pintu saja tidak. Perempuan tua itu seolah membangun perisai untuk melindungi kehidupannya dari gangguanku.

Tapi, semenjak aku tak sengaja menolongnya saat ia hampir tertimpa runtuhan bangunan tetangga kami saat ada gempa—aku refleks menarik tangannya kala itu, sikapnya mulai melunak kepadaku.

Ya, Nek Darmi memang keras. Tapi ia sangat tahu bagaimana caranya berterimakasih dan menghargai kebaikan seseorang. Karena itulah, walaupun kelihatan galak, tapi warga di pemukiman ini selalu ramah dan baik padanya.

***

Sudah dua hari, saat akan berangkat kerja, aku melihat Nek Darmi ada di rumah.

“Nek,” sapaku saat melintas di depan rumahnya. Nek Darmi sedang menumbuk beberapa lembar daun—entah daun apa—di atas sebuah batu kali agak besar yang tergeletak di halaman rumahnya yang sempit.

Nek Darmi menoleh. Kulihat mata tuanya agak sayu. “Eh, Sekar.” Ia terbatuk.

“Nenek sakit?”

Nek Darmi kembali terbatuk. “Ah, tidak.”

Khawatir, aku menghampirinya. Wajahnya pucat. Sepertinya ia memang sedang sakit. “Nenek sakit apa?"

“Nenek tidak apa-apa, hanya kurang istirahat.”

Meski agak ragu, aku memberanikan diri menyentuh keningnya. “Astaga, badan Nenek panas sekali! Nenek harus istirahat dan minum obat. Ayo Sekar antar Nenek ke dokter,” kataku panik sambil mencoba meraih tubuhnya yang sedang berjongkok.

“Tidak, Sekar, Nenek baik-baik saja. Sudah sana kamu berangkat kerja, nanti terlambat hanya karena mengurusi nenek.”

“Tidak, Nek. Sekar akan membawa Nenek ke dokter. Nenek harus mau. Sekar tidak mau nenek sakit.”

Nek Darmi membanting batu kolar sebesar genggaman yang sejak tadi digunakan untuk menumbuk dedaunan. Matanya menatap tajam. “Sudah Nenek bilang, Nenek tidak mau! Kamu tidak  dengar?!” suara Nek Darmi meninggi.

“Tapi, Nek….”

“Pergi!” usirnya kasar. Ia mendorong tubuhku hingga aku hampir terjatuh. Ia bangkit, kemudian masuk dengan membanting pintu.

***

Panasnya masih tinggi. Aku meletakkan sehelai handuk kecil yang kulipat menjadi dua di dahi Nek Darmi sebagai pengompres.
Ternyata seperti ini kondisi bagian dalam rumah Nek Darmi. Ini pertama kalinya aku masuk. Sangat berbeda jauh dengan rumahku yang berisi barang-barang dan perabot yang cukup bagus. Di rumah papan yang kecil ini—kira-kira 8 x 5 meter—hanya terdapat barang-barang sederhana yang hampir semuanya terlihat usang dan tak lagi layak pakai.

Balai yang kini menjadi pembaringan tubuh lemah Nek Darmi yang sedang terlelap, adalah satu-satunya tempat tidur yang digunakan berdua dengan Dito. Lantainya hanya berupa tanah, yang jika hujan turun dan air menetes dari atap yang bocor, maka tanah ini akan tergenang air dan menjadi becek. Pengap. Itu yang aku rasakan saat baru menginjakkan kaki di rumah ini. Suara cicak yang bersahutan seolah menambah kesan buram keadaan rumah Nek Darmi.

Kalau saja Nek Darmi tidak sedang sakit, mungkin ia tidak akan mengijinkanku berada di sini. Dengan sedikit rayuan, akhirnya tadi Dito mau membukakan pintu rumahnya. Mungkin bocah laki-laki itu juga kasihan melihat neneknya sakit tapi tidak ada yang mengurusi.
“Kenapa kamu ada di sini, Sekar?” tanya Nek Darmi mengagetkanku yang sedang terkantuk-kantuk di sisi tempat tidurnya. Kulirik jarum jam di pergelangan tangan kiri, pukul 9 malam lewat 10 menit. Sudah hampir empat jam aku di sini. Kutengok juga Dito yang sudah tertidur pulas di sebelah Nek Darmi.

“Nenek sudah bangun? Nenek mau makan? Setelah itu minum obat, ya?”

“Lebih baik kamu pulang, Sekar. Nenek tidak apa-apa.” Lagi, ia terbatuk.

“Tidak, Nek, Sekar mau di sini, merawat Nenek.”

Kulihat tubuh Nek Darmi begitu lemah. Sepertinya kali ini sakitnya cukup serius. Pelan-pelan aku menyuapkan bubur yang tadi kubeli di perjalanan pulang kantor. Aku sungguh merasa iba melihat kondisi mereka.

“Nenek tahu prasangka orang-orang tentang Nenek. Pemulung, pengemis, pencopet, tukang hipnotis, dan banyak lagi. Apa kamu juga berpikir seperti itu tentang Nenek, Sekar?” Nek Darmi membuka obrolan usai meneguk sedikit teh yang kubuatkan. Buburnya hanya dimakan sedikit.

Aku menggeleng samar. Tapi dalam hati aku memang penasaran tentang kebenaran akan hal tersebut.

“Nenek maklum, kalau kamu dan orang-orang di sini bertanya-tanya tentang apa pekerjaan Nenek yang sebenarnya. Mungkin bagi kalian kehidupan Nenek agak aneh. Nenek bukan bermaksud untuk menutup diri, tapi Nenek rasa tidak perlu menunjukkan bagaimana kehidupan Nenek pada orang lain kalau hanya untuk dikasihani. Selama Nenek tidak menyusahkan orang lain, bagi Nenek itulah kehidupan yang nyaman.”

Aku mendengarkan dengan saksama sambil memijit-mijit pelan kaki perempuan sepuh itu. Ia kemudian bercerita tentang kehidupan masa lalunya yang buram sejak kecil, hingga menjadikannya sosok yang tegar dan keras seperti sekarang.

Ia bercerita tentang pendaharan hebat yang dialaminya saat sedang hamil lima bulan, hingga embuat rahimnya bermasalah dan harus diangkat. Itulah salah satu alasan sang suami meninggalkannya, karena tak bisa memberi keturunan. Dan sampai sekarang ia tak lagi mau mengenal pernikahan. Tentang pekerjaan sebenarnya yang ia geluti sebagai kuli panggul di pasar dengan penghasilannya yang tak seberapa, juga tentang Dito yang ia angkat sebagai cucu lima tahun lalu, saat ia tak sengaja menemukan Dito di sisi rel kereta api.

Cerita Nek Darmi seolah menyentil naluri kemanusiaanku. Inilah potret nyata kehidupan Ibukota yang—katanya—menjanjikan hidup sejahtera dan mewah, tapi sayangnya hanya berlaku bagi sebagian orang. Sementara bagi sebagian yang lain, bisa saja menjadi neraka. Nek Darmi adalah penduduk asli Jakarta. Ia lahir dan besar di Kota Metropolitan ini, tapi kehidupannya sungguh jauh berbeda denganku—dan kebanyakan yang lain—yang hanya berstatus sebagai pendatang.

Kalau aku ada di posisi mereka, mungkin aku tak akan sanggup bertahan. Tapi dari mata Nek Darmi, aku melihat begitu banyak ketegaran dan kekuatan. Mungkin itulah alasan kenapa ia bisa bertahan sampai saat ini tanpa harus meminta bantuan pada orang lain.

Ada satu yang mengganggu pikiranku dari sekian banyak cerita yang dituturkan Nek Darmi. Sebaris kalimat dan harapan sederhana, tapi kuyakin itu berarti sangat besar baginya.

“Nenek sangat ingin mempunyai anak perempuan, Sekar.”

***

“Nek, kenalkan, ini Laras,” kataku.
Aku membawa seorang gadis berusia 15 tahun yang tak sengaja kutemui sedang duduk menangis di bawah jembatan penyebrangan.

Menurut ceritanya, ia adalah seorang anak yatim piatu yang ditinggal meninggal oleh kedua orang tuanya tujuh bulan lalu, saat keluarga kecil itu hijrah dari desa terpencil di Kalimantan untuk mengadu nasib di Jakarta. Bus yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dan orangtuanya meninggal di tempat. Ia tak punya kenalan seorang pun di kota ini. Sementara untuk menghubungi saudara di desa pun ia tak memiliki akses.

“Laras ini sebatangkara, Nek. Mungkin Nenek mau menerimanya di sini untuk menjadi … anak Nenek,” ucapku hati-hati.

Nek Darmi mengamati Laras dengan saksama, lalu menatapku dalam. Dadaku berdebar kencang, takut kalau ia tersinggung. Kakinya maju selangkah. Perlahan, bibirnya menyunggingkan sebuah senyum.

“Ya. Tentu saja,” katanya pendek.

Aku luar biasa gembira. Aku langsung memeluknya. Kemudian berganti memeluk Laras. Barulah dua perempuan beda generasi itu berpelukan.

Hari-hari berikutnya, kulihat hidup Nek Darmi lebih ceria. Laras anak yang rajin. Selain membantu Nek Darmi mengurus rumah, Laras juga ikut bekerja di pasar. Kulihat ia pun begitu menyayangi Dito. Aku lega. Setidaknya, keinginan Nek Darmi untuk mempunyai anak perempuan bisa terwujud, meski bukan lahir dari rahimnya sendiri.

Hampir empat bulan sejak pertama kali aku membawa Laras ke hadapan Nek Darmi, sampai ada kejadian sore ini.

***

“Nek Darmi….” Pak RT menggantung jawabannya. Ia menatapku lekat. Dan jawaban yang keluar selanjutnya sama sekali tak terlintas di kepalaku. “Nek Darmi mengalami musibah. Kepalanya dipukul dengan batu. Menurut Dito, yang melakukannya adalah Laras, karena anak itu bersikeras minta dibelikan handphone. Karena Nek Darmi tak memiliki uang, mereka bertengkar. Sampai akhirnya Laras memukul Nek Darmi dengan batu bata pengganjal meja.”

Ya, Tuhan, ini seperti mimpi. Seketika air mataku meleleh. Aku merasakan getaran hebat di kakiku, hingga hampir saja ambruk. Beruntung di belakangku ada tembok pagar yang dapat menopang tubuh lemahku.

Kulihat tubuh Nek Darmi digotong ke ambulan dan segera dilarikan ke rumah sakit. Sebelum ambulan itu melaju, aku bergegas meminta ijin kepada petugas rumah sakit untuk ikut masuk, menemani Dito dan Pak RT.

Hatiku rasanya hancur melIhat Nek Darmi terbaring lemah di dalam ruang UGD. Aku yang membawa Laras ke dalam kehidupannya. Itu artinya akulah sumber malapetaka yang menimpa perempuan tua tua itu. Aku, gadis bodoh yang dengan sembarangan membawa orang yang tak dikenal. Dan aku… aku harus menebus semua dosa dan kesalahanku pada Nek Darmi dan Dito.

***

Setelah hampir 48 jam Nek Darmi tak sadarkan diri, akhirnya ia membuka matanya. Kebetulan aku berada di sisinya saat ia sadar. Aku bergegas memanggil dokter.

Hening. Aku merasa malu dan canggung. Tapi aku segera menguasai diri. “Nek, maafkan Sekar. Semua ini terjadi karena Sekar. Kalau saja Sekar tidak membawa Laras ke rumah Nenek, miungkin—“

“Sudah, Sekar, tidak usah mebahas tentang itu. Lupakan. Nenek tidak mau mengingatnya lagi,” kata Nek Darmi pelan tapi tegas.

“Baiklah. Tapi, satu hal, Nek. Setelah keluar dari rumah sakit nanti, Nenek dan Dito harus tinggal bersama Sekar. Ijinkan Sekar merawat Nenek. Ijinkan Sekar… untuk menjadi anak perempuan Nenek.” Aku berkata tanpa keraguana sedikit pun.

Kulihat air mata pelahan mengalir dari sudut mata tua itu. Ada pancaran yang tak kumengerti dari tatapan Nek Darmi. Ia tersenyum, lalu mengangguk pelan. ***

Sabtu, 12 Maret 2016

Sekelumit tentang buku "Kutinggalkan Dia Karena DIA"

Assalamu'alaikum.
Apa kabar teman-teman? Semoga selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Aamiin.

Kali ini saya ingin berbagi sekelumit kisah tentang buku "Kutinggalkan dia karena DIA" yang Alhamdulillah sudah jadi best seller, dan dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun sejak awal launching, sudah mencapai cetakan ke-12. Subhanallah.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk teman-teman yang sudah membeli dan membaca buku ini :)

Buku berjudul "Kutinggalkan dia karena DIA" adalah sebuah antologi cerpen yang berisi tentang kisah orang-orang yang akhirnya memilih untuk meninggalkan dunia pacaran karena Allah SWT. Ada 15 buah cerpen dalam antologi ini. Dan semua ada true story, atau kisah nyata. Cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini adalah cerpen-cerpen yang berhasil lolos dalam sayembara menulis cerpen yang diadakan oleh Penerbit Wahyu Qolbu.

Cerpen saya sendiri Alhamdulillah tergabung dalam antologi ini dengan judul "Save Me from Pacaran, Please...!", yang terletak di halaman 75. Cerpen ini merupakan pengalaman pribadi saya. Beberpa pembaca ada yang bilang kalau cerpen saya lucu, endingnya "jleb" dan unik. Saya sih hanya bisa tersenyum, karena mungkin tulisan itu mewakili karakter penulisnya. Hehe.

Kalau diingat-ingat, perjuangan cerpen ini berhasil masuk ke dalam 15 besar dan ikut dibukukan bersama cerpen lainnya lumayan menegangkan.

Saya punya kebiasaan buruk--jangan ditiru ya--suka menulis naskah lomba di tanggal DL, termasuk cerpen di antologi ini. Saat itu DL yang ditentukan panitia adalah pukul 23.00, sedangkan saya baru mulai menulis pukul 21.00. Itu pun tidak fokus hanya menulis. Saat itu saya harus membagi konsentrasi antara menulis, mengecek laporan stok toko tempat saya bekerja yang harus diselesaikan malam itu, juga berkomunikasi dengan boss saya via BBM. Intinya ... RIBET!

Tapi Alhamdulillah, karena saya menulis kisah nyata, jadi alur ceritanya sudah ada di kepala, hanya tinggal menyusun kalimat-kalimat saja. Dam cerpen ini selesai pukul 22.50. *fiuh!
Saya cuma punya waktu 5 menit untuk kroscek dan revisi, dan 5 menit sisanya untuk proses pengiriman naskah melalui email.

Tapi ... ups! Koneksi internetnya bermasalah. Berulang kali login tapi selalu gagal. Rasanya ingin menangis :'( apalagi melihat waktu sudah tinggal 1 menit.
Saya terus berusaha untuk mencoba agar mendapat koneksi yang baik, dan berhasil! Setelah menunggu dengan tegang karena loading pengiriman yang sangat lemot, akhirnya email pun terkirim! *fiuh lagi.

Sayangnya, sudah melewati batas waktu DL.
Telat sekitar 1 menit. Rasanya lagi-lagi ingin menangiiiis :'( :'(

Di waktu-waktu menunggu pengumuman, sya terus berdo'a, minta sama Allah agar naskah ini bisa lolos. Dan akhirnya tibalah saat pengumuman. Pelan-pelan saya cek satu persatu judul naskah dan nama-nama penulisnya, tapi saya belum menemukan judul cerpen yang saya tulis. Dan ternyata, cerpen saya berada di urutan terakhir, urutan ke-15.

Alhamdulillah, ternyata pihak panitia masih mau mempertimbangkan cerpen saya meski waktu pengirimannya sedikit telat. Terima kasih, Penerbit Wahyu Qolbu :)
Cerpen yang ditulia kilat ini ternyata mampu bersaing dengan ratusan cerpen lainnya. :)

Duh, maaf ya kalau curhatnya kepanjangan.
Intinya, NGGAK ADA YANG NGGAK MUNGKIN KALAU ALLAH SUDAH BERKEHENDAK. Yakinlah, kalau kita berniat dan melakukan hal yang baik, maka insya Allah hasilnya juga akan baik.

So, mari kita selalu berpikir positif dan terus semangat untuk berkarya. Berbagi kebaikan dan ilmu lewat karya, apa pun jenis karya itu.
Dan ... JANGAN LUPA BELI DAN BACA BUKUNYA YAAA. Hehe.

Terima kasih yang sudah berkwnan meluangkan waktu untuk membaca curhatan panjang lebar yang mungkin sedikit tidak penting ini. Hihi.

Barakallah fiikum. :)
Assalamu'alaikum.

Cerpen : Move On(i)

Cerpen ini ... ah, entah harus diapain lagi. Udah mentok. Ditolak sama dua majalah. Huhu :'(
Abadikan di sini aja deh.
Selamat membaca cerpen aneh ini :D

Move On(i)


Oni membanting sebuah novel dengan keras ke lantai kamar. Ia meremas rambut bondolnya. Ruangan yang biasanya selalu riang dengan alunan musik Jazz yang easy listening itu, beberapa hari terakhir terasa lebih sendu dan buram, karena berganti menjadi pusat segala kegalauan dengan lagu-lagu mellow yang diputar hampir sepanjang waktu.

Sudah tiga hari gadis bertubuh mungil itu tidak masuk sekolah. Bukan karena sakit atau sedang liburan, tapi karena galau. Galau akut! Begitu pendapat Kaira, sahabatnya. Ya, Oni memang sedang galau akut. Fandy, mantan pacar yang sangat diharapkan akan kembali padanya, justru semakin menjaga jarak dan meminta Oni untuk menjauhinya.

“Kayaknya mulai sekarang kita harus jaga jarak. Kamu harus jauhin aku, atau aku yang jauhin kamu!” tandas Fandy dingin empat hari lalu, saat pemuda jangkung itu sengaja menemui Oni di perpustakaan, tempat favorit Oni bila sedang ada jam pelajaran kosong.

“Kenapa? Aku salah apa?” Oni refleks menutup bukunya.

“Kamu tahu ‘kan aku udah punya pacar? Aku nggak mau ada salah paham sama pacarku cuma karena kamu.” Fandy mengakhiri titahnya, kemudian bangkit dan meninggalkan Oni yang membeku di kursinya.

Kejadian itu benar-benar menohok di hati Oni. Ia merasakan sakit yang lebih dalam dari sekadar mendengar kata putus yang diucapkan Fandy sebulan lalu. Ini lebih menyakitkan baginya. Hingga gadis pecinta buku itu merasa tak punya semangat belajar. Apalagi untuk datang ke sekolah dan bertemu Fandy yang satu kelas dengannya.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar. Oni kontan menoleh. Didapatinya Kaira yang masuk terburu dengan wajah cemas. Rambut hitam lurusnya yang hampir mencapai pinggang berayun mengikuti gerak tubuh langsingnya.

“Ketuk pintu dulu bisa nggak sih?” protes Oni sambil melotot.

“Gue udah ketuk dari jaman Sun Go Kong masih jadi batu, lo aja yang nggak dengar!” Kaira sewot sendiri. Ia sudah panik karena sahabatnya itu sama sekali tak merespon ketukannya tadi.

Oni mendengus, lalu kembali membenamkan wajahnya di atas bantal. Sejak tadi ia berbaring dengan posisi menelungkup, dengan kedua tangannnya menggantung di sisi tempat tidur.

“Gila, ini kamar atau kapal pecah? Lo habis ngamuk? Dasar galau akut!” Kaira memandang takjub. Ia memungut novel yang tadi dibanting Oni. “Segitunya banget sih, cuma gara-gara Fandy si sok kegantengan itu. Nggak penting, tau nggak?”

“Kalau cuma mau ngeledekin gue, mending pulang sana!” Oni menatap sinis.

“Sensi banget sih lo! Gue ke sini justru karena gue peduli.”

Lagu Melewatkanmu milik Adera mengalun sendu. Oni mengubah posisinya jadi telentang. Ia memejamkan mata. Perlahan semua kenangan bersama Fandy muncul satu persatu, bagai adegan dalam film drama romantis yang sering ditontonnya. Tawa, canda, kemesraan dan semua kehangatan yang pernah tercipta. Manis. Sebentuk senyum kecil tercetak di bibirnya yang pucat.

Namun, kenangan manis itu terasa begitu pahit, saat ia kembali menyadari bahwa semua hanya tinggal kenangan yang tak mungkin lagi bisa terulang. Kenangan yang mungkin sudah dihapus Fandy dari ingatannya, tanpa bekas. Sebuah bulir bening menetes dari sudut matanya yang masih tertutup. Ia merasakan sesak yang teramat. Makin lama makin sesak. Hingga ia tak sanggup lagi membendung tangisnya. Oni sesenggukan.

Kaira yang sejak tadi secara sukarela sibuk membereskan barang-barang yang berserakan di kamar Oni, tersentak mendengar suara tangis itu. Bergegas ia menghampiri Oni. “Ya ampun, Oni.” Ia memeluk sahabatnya.

***

“Hai, Oni, lo sakit apa? Kok beberapa hari ini nggak masuk sekolah?” tanya Dina polos pada Oni yang sedang serius memasukan refill ke dalam pensil mekaniknya.

Karena kaget, Oni terlalu keras mendorongnya, hingga refill itu patah. Huh, Dina! Udah matahin hati gue, sekarang matahin pensil gue. Rese banget sih nih anak! omelnya dalam hati.

Sebenarnya Oni tidak sudi meladeni Dina, tapi ia harus tetap bersikap wajar di depan gadis chubby itu. Bukan salah Dina jika Fandy sekarang menjauhinya. Dina tidak tahu perihal hubungan yang pernah dimiliki Oni dan Fandy. Mereka memang merahasiakan dari teman-teman sekelas, hanya Kaira yang tahu. Tapi tetap saja, kehadiran Dina dalam hubungannya dengan Fandy seperti pil pahit yang dilarutkan dalam susu di waktu sarapan. Membuat mual!

“Gue nggak apa-apa kok. Cuma nggak enak badan sedikit.” Oni memaksakan sebentuk senyum.

Seperti biasa, Dina lantas mengoceh panjang lebar. Tentang ekskul menulis yang mereka ikuti, tentang pelajaran, juga tentang hubungannya dengan Fandy. Selalu seperti itu. Andai Dina tahu siapa Oni….

Dari pojok belakang, sepasang mata sejak tadi mengamati dua gadis itu dengan tatapan seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Dingin dan tajam. Wajahnya kaku, menyiratkan ketidaksukaan pada apa yang sedang dilihatnya. Ya, Fandy memang tak pernah suka melihat Oni berbicara dengan Dina. Ia terlalu takut kalau Oni akan membocorkan tentang hubungan mereka dulu.

Memang sulit terjebak dalam hubungan yang rumit. Andai saja dulu Oni tak pernah merespon pedekate yang dilancarkan Fandy saat ia putus dari Dina, mungkin cinta segitiga ini takkan pernah ada. Saat ia sedang berbunga-bunga dengan sikap manis dan romantis Fandy, ia mendapati kenyataan bahwa Fandy diam-diam kembali menjalin hubungan dengan Dina. Walaupun hubungan itu tidak bertahan lama. Ya, Oni diduakan.

Tapi, cinta telah membutakan mata Oni. Bukanya marah, ia justru berpura-pura tidak tahu tentang hal tersebut. Ia tetap manjadi pacar yang baik untuk Fandy. Walaupun Fandy yang tempramen kadang bersikap kasar padanya tanpa alasan yang jelas. Bahkan setelah putus, mereka masih menjalin hubungan tanpa status, padahal Oni tahu Fandy kembali lagi pada Dina. Ia sudah seperti selingkuhan. Sementara Dina… gadis berponi depan itu masih belum tahu apa-apa. Entah kapan ia akan tahu. Atau mungkin tidak akan pernah tahu.

Kini Oni semakin berada di posisi yang sulit. Harus melihat Fandy dan Dina berduaan setiap hari. Sementara ia sama sekali tak bisa protes dan menuntut apapun dari Fandy. Bahkan sekadar pengakuan hubungan mereka. Perih.

***

Kening Kaira berkerut saat melihat Oni sedang serius di depan laptop, hingga tak menyadari Kaira masuk ke kamarnya. “Lagi ngapain lo? Serius amat?”

“Bikin video,” jawab Oni tanpa mangalihkan fokusnya dari layar laptop.

“Video apaan?”

“Foto-foto gue sama Fandy. Ada lagunya juga. Kayak video klip gitu.” Oni menoleh sesaat pada Kaira, memamerkan senyum kecil. “Buat kado ulang tahunnya minggu depan.”

Mata Kaira yang bulat melotot lebar, seolah mau lompat. “Hah? Masih aja sih lo mikirin kado buat dia?! Dia aja udah nggak peduli sama lo. Lupa kalo dia minta lo buat jauhin dia?”

Oni bangkit dari kursinya, pindah duduk di tepi tempat tidur. “Terserah dia mau bersikap seperti apa ke gue. Yang penting dia tahu, pernah ada orang yang benar-benar tulus sayang sama dia sepenuh hati.”

Kaira duduk di sebelah kiri Oni. “Be smart, Ni. Jangan bodoh! Nggak selamanya cinta itu melulu pakai hati dan perasaan. Pakai logika lo! Nggak ada gunanya lo kasih itu ke dia. Lo sendiri yang selalu bilang, kalau dia memperlakukan lo kayak tong sampah. Sekarang lo mau jadi tong sampah lagi?”

“Gue udah niat mau kasih itu sejak kami belum putus.” Oni menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sekaligus. “Gue akan tetap kasih itu ke dia, nggak peduli apa pun reaksinya nanti.”

“Terserah lo deh!” Kaira sudah tak tahu lagi harus berkata apa. Oni memang keras kepala. Gadis itu selalu mengikuti apa kata hatinya, walaupun itu akan menyakiti dirinya sendiri. Terutama setiap hal yang berhubungan dengan Fandy. Oni akan lebih rela hatinya tersakiti hanya demi tetap dapat melihat Fandy tersenyum. Ah, cinta memang bodoh!

***

Hari ini ulang tahun Fandy. Sejak berangkat tadi pagi, Oni sudah bertsemangaat akan menyerahkan video itu. Ia tak peduli lagi bagaimana reaksi yang akan diberikan Fandy atas kadonya tersebut. Benar-benar tak peduli! Ia hanya ingin Fandy tahu, bahwa sampai detik ini, rasa sayangnya pada pemuda itu masih sangat besar. Seperih apa pun luka yang telah ditorehkan Fandy di hatinya, sedikit pun tidak mengurangi rasa sayang dan cintanya. Ia sangat ingin Fandy kembali padanya. Kembali bersikap lembut dan penuh canda. Meski bukan lagi sebagai pacar.

Kebetulan saat itu keadaan kelas sedang sepi, hanya ada Oni dan Fandy. Teman-teman sekelas mereka langsung berebutan menuju kantin begitu bel istirahat berbunyi, termasuk Dina. Baru saja Oni hendak berdiri menghampiri Fandy yang tadi dilihatnya sedang duduk sambil membaca buku, ia tersentak dengan kehadiran pemuda itu yang tiba-tiba sudah berdiri angkuh di sebelahnya.

“Senang ya aku putus? Puas?!” tanya Fandy getas dengan sorot mata tajam yang menukik tepat di manik mata Oni.

Oni yang belum siap kontan ternganga mendengar pertanyaan yang lebih mirip tuduhan itu. “Ma-maksud kamu apa?” Oni terbata.

“Aku udah putus sama Dina. Kamu senang ‘kan sekarang? Puas, ‘kan?!” suara Fandy terdengar makin sinis.

Oni tak habis pikir, mengapa mereka tiba-tiba putus? Lalu mengapa Fandy justru marah padanya atas keadaan itu? Emosinya jadi tersulut. Ia berdiri, menantang mata Fandy. “Kamu nyalahin aku?” Nada suaranya naik satu oktaf.

Fandy mendesis, tak menyangka reaksi yang diberikan Oni. “Jangan pernah ganggu aku lagi!” tegasnya, kamudian berlalu dengan langkah kasar. Di depan pintu ia berpapasan dengan Kaira yang mematung.

“Aaarrgghh!!” Oni mematahkan keping CD yang sejak tadi berada dalam genggamannya, lalu membanting patahannya ke lantai. Hatinya sakit. Sangat sakit! Tak pernah terlintas sedikit pun di kepalanya jika Fandy bisa mengucapkan kata-kata menyakitkan itu padanya. Ia terduduk lemah. Menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lagi, ia menangis.

Kaira yang tadi tak sengaja menyaksikan kejadian itu, bergegas menghampiri Oni, lalu memeluknya. Sebagai sahabat, ia dapat merasakan luka yang dirasakan Oni. 
“Gue nggak menyangka Fandy setega itu sama gue, Kai,” ujar Oni di tengah isak.

“Gue kan udah sering bilang, Ni, cowok kayak gitu nggak pantas lo harapkan. Dia udah nggak peduli sama lo. Malah udah nggak segan buat menyakiti lo. Terima kenyataan, kisah kalian itu udah berakhir. Semua memang pernah indah, tapi itu dulu. Nggak mungkin bisa terulang lagi. Jangan terus menyakiti diri sendiri hanya karena orang yang bahkan udah nggak menganggap lo ada!”

Tangisan Oni makin menjadi mendengar ucapan Kaira. Ia memejamkan mata, mencoba mencerna semua kata-kata Kaira. Bukan hanya yang barusan, tapi semua. Semua yang pernah diucapkan sahabatnya itu untuk membuka matanya yang buta oleh cinta. Ya, Kaira benar, selama ini ia terlalu bodoh. Ia bodoh karena cintanya yang tak pernah memakai logika.

Sudah begitu banyak yang ia korbankan. Rambutnya yang panjang dengan tega dipotongnya jadi bondol saat stress Fandy memutuskan hubungan mereka. Waktu, perasaan dan air mata, sudah banyak yang terbuang sia-sia. Bahkan pelajaran pun ikut terabaikan. Ah, cinta yang salah penempatan memang bisa merusak hidup seseorang. Dan Oni menyadari, kalau hidupnya terlalu berharga untuk disia-siakan dengan kisah remeh-temeh itu.

“Ikhlas, Ni. Relakan Fandy. Hidup lo nggak akan tenang kalau lo nggak ikhlas.”

***

Oni berdiri tegak di hadapan Kaira. Menatap mata sahabatnya dengan binar semangat yang sudah lama hilang. Kedua tangannya memegang sebelah kotak berbahan kaleng berukuran 30x20x15cm, berisi barang-barang kenangannya bersama Fandy. Ada boneka, foto-foto, bunga, syal, sampai berlembar-lembar puisi. “Lo harus jadi saksi detik-detik gue untuk move on dari Fandy!”

Kaira tersenyum mendengar ucapan Oni. Ia langsung memeluk sahabatnya itu dengan erat. Inilah Oni yang dikenalnya dulu. Gadis periang yang penuh dengan semangat. Sosok inilah yang sangat dirindukannya.

Ditemani Kaira, Oni membakar semua benda dalam kotak itu sampai hangus. Bongkahan luka yang selama ini menyesaki hatinya, seolah ikut terbakar bersama barang-barang itu. Hatinya terasa lega. Sangat lega. Akhirnya ia bisa kembali merasakan semangat hidupnya, seperti hari-hari sebelum ia dekat dengan Fandy. Ditatapnya Kaira yang sedang tersenyum lembut. Tersirat sebuah kelegaan pula dari mata Kaira.

Hidup memang terlalu singkat untuk dilewatkan dengan meratapi apa yang tak seharusnya diratapi. Jalan ini masih panjang, dan gue harus semangat menatap masa depan gue! Tekad Oni dalam hati. ***