Selasa, 15 September 2015

Cerpen : Kertas Dalam Botol

Hmm ... cerpen ini adalah cerpen yang nggak lolos di ajang Teenlit Asyik Intuisi #1 yang diprakarsai oleh Bunda Erin (Reni Erina).
Dari ratusan naskah yang masuk ke email panitia, cerpen ini cuma lolos di tahap seleksi awal, yaitu masuk di 52 besar.

*Nama dua tokoh utama di cerpen ini hasil pinjem dari nama dua orang teman SMA yang sifatnya ya ... kurang lebih mirip lah sama karakter di cerpen ini. #GAZEBO. Hehehe.

Yuk ah, nggak usah banyak cingcong. :)


KERTAS DALAM BOTOL

Hari ini Bayu berangkat ke sekolah lebih pagi. Rambut cepak berjambulnya terlihat lebih rapi. Cowok berperawakan mungil itu melajukan sepeda dengan tengil karena kondisi jalan yang masih sepi. Begitu melintasi pertigaan dekat sekolah, tiba-tiba ada seorang pria berjubah hitam berdiri tepat di depan lintasannya. Refleks Bayu menekan rem kuat-kuat.

Bikin kaget aja nih orang! Omelnya dalam hati.

“Anak muda, kesini!” pinta pria berambut gondrong tak beraturan itu. Matanya menatap lekat.

Sebenarnya Bayu ragu, tapi karena penasaran ia menurut saja.

“Ini!” Pria itu memberikan sebuah botol kaca yang di dalamnya terdapat selembar kertas yang tergulung.

“Ini apa?”

“Nanti kamu akan tahu sendiri. Tapi ingat, jangan membuka kertas itu sebelum waktunya, karena akan sangat berbahaya untuk keselamatanmu!”

Bayu makin bingung, “Terus kapan waktu yang tepat?”

Pria sekitar 30 tahunan itu makin tajam memandang ke arah mata Bayu, “Nanti, saat kita bertemu untuk yang kedua kali.”

Bayu memandangi botol dengan kening berkerut. Baru ia hendak bertanya lagi, ternyata sosok itu telah menghilang. Bulu kuduknya berdiri. Buru-buru ia menaiki sepeda dan melajukannya dengan kencang.

Suasana kelas XI IPA 1 yang masih sepi membuat Bayu makin serius mengamati benda yang baru didapatnya. Abas yang datang saat kelas hampir terisi penuh, bingung melihat tingkah sahabatnya. Ia jadi ikut mengamati. Tapi tak ada hal aneh yang dirasakan cowok berambut ikal itu.

“Lo ngeliatin apaan sih, Bay? Ada yang aneh sama tuh botol?”

Bayu tak menjawab. Ia hanya meletakan jari telunjuk kanan di depan bibir tanpa menoleh. Karena sudah mengenal Bayu sejak SMP, Abas bisa maklum. Anak itu memang kadang suka bersikap aneh dan sok misterius. Efek kebanyakan membaca buku-buku mistis.
***

“Gue yakin banget, Bas, kalau botol ini adalah wangsit. Orang itu pasti paranormal, dan dia tahu kalau gue adalah orang yang pantas untuk mewarisi semua ilmu dan kemampuan supranaturalnya,” oceh Bayu untuk kesekian kali. Botol itu tak pernah lepas dari genggamannya. Karena ban sepedanya kempes, Bayu terpaksa pulang dengan nebeng di sepeda Abas.

“Ya elah, Bay, udah 2014 nih. Masih aja lo percaya sama yang begituan.”

“Lo nggak ngerti sih, Bro. Punya kelebihan yang jarang dimiliki sama orang kebanyakan tuh akan bikin lo terlihat lebih keren. Seandainya boleh milih, gue pengen banget punya kemampuan prekognision, bisa melihat apa yang akan terjadi. Wuih, keren, 'kan?”

Bodo amat! Seru Abas dalam hati. Cowok hitam manis itu melirik Bayu dengan sebal. Sepertinya otak Bayu harus di-refresh, biar obsesinya untuk memiliki ilmu supranatural lenyap tak tersisa.

Tiba-tiba botol kaca itu terlepas dari genggaman Bayu, “Yah, Bas, botolnya jatuh!” serunya heboh sarat kepanikan. Botol menggelinding karena kontur jalan yang agak menurun. “Kejar, Bas!”

Laju botol yang lumayan cepat membuat Abas ngebut. Tubuh kurusnya seolah bertarung dengan hembusan angin yang terasa makin kencang.

CIIITTT!!!

Abas menekan remnya dengan kuat. Botol itu berhenti di pertigaan jalan selanjutnya. Dengan cepat Bayu turun dan mengambil botol yang tergeletak di samping ban belakang. Sebelum tangannya sampai menyentuh botol, dia melihat ada cahaya yang terpancar dari benda tersebut. Makin lama makin terang dan ....

BRAK!!!

Sebuah mobil menerjang kedua tubuh itu berikut sepedanya. Mereka tergeletak tak sadarkan diri.
***

Bayu memasuki kelas dengan langkah sedikit pincang. Masih terlihat perban di dahi dan sikunya.

“Bas,” sapa Bayu.

Abas yang sedang membaca buku mendongak, “Eh, Bay. Gimana, udah baikan?”

Alhamdulillah, lumayan. Lo gimana?”

“Gue nggak apa-apa kok, cuma lecet dikit.”

Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di kepala Bayu. Agak samar, tapi dia dapat melihat ada darah di sana. Banyak orang berkerumun dan… ada Vina. Seketika wajahnya memucat. Ia membeku di tempat duduknya.

Bertepatan dengan jam pulang, SMA Bima Sakti dihebohkan dengan penemuan seorang siswi yang tergeletak tak bernyawa di toilet. Vina, anak kelas sebelah. Terdapat bercak darah di bagian paha yang sudah mengalir ke lantai. Menurut informasi dari sahabatnya, Vina meminum pil penggugur kandungan.

Bayu mematung melihat pemandangan tragis itu. Bukan hanya karena dia naksir Vina sejak kelas X, tapi juga karena kejadian itu sama persis dengan bayangan yang tadi pagi berkelebat di kepalanya. Tiba-tiba keringat dingin mengucur. Ia berlari menjauhi TKP.

Abas yang kaget melihat Bayu berlari spontan mengejar. Tapi ia kehilangan jejak. Karena khawatir, malam harinya Abas datang ke rumah Bayu. Dilihatnya cowok tengil itu sedang melamun sendiri di teras.

“Lo baik-baik aja, Bro?”

Yap, I’m okay.”

“Gue ngerti lo pasti shock sama kejadian tadi siang. Tapi itulah takdir, Bay. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi dengan diri kita.”

“Tapi gue tahu, Bas, “ ujar Bayu nyaris tak terdengar.

“Hah?”

Belum sempat Bayu menjawab, tiba-tiba sekelebat bayangan kembali muncul di kepalanya. Untuk sesaat ia mematung. Diamatinya gerobak tukang nasi goreng yang sedang mangkal tak jauh dari rumahnya. Ada beberapa orang yang sedang makan dan menunggu pesanan. Lalu sekencang mungkin ia berlari menghampiri orang-orang itu. Abas yang masih bingung mengekor di belakang.

“Bang, Mas, Mbak, mending pada pergi deh dari sini!” ujar Bayu cepat.

Yang ada di tempat saling pandang.

“Heh, lo mau ngusir pembeli gue?” omel Abang tukang nasi goreng, tidak terima dengan ucapan Bayu.

“Bukan gitu, Bang. Udah buruan Abang sama yang lainnya jangan pada di sini, bahaya. Buruan pindah, kesana!” Bayu menunjuk arah rumahnya.

Masih belum ada yang mengerti maksud Bayu. Termasuk Abas.

“Buruan!” teriak Bayu, membuat orang-orang terpaksa menuruti. Mereka berlari, hanya tinggal Abas yang masih berdiri dekat gerobak nasi goreng.

“Abas!” Bayu menarik tangan Abas sekuat tenaga, hingga mereka terjatuh beberapa meter.

Lalu… BUMP!! Sebuah mobil sedan berwarna hitam dengan kecepatan tinggi menabrak gerobak nasi goreng secara membabi buta. Mobil itu akhirnya terbakar dan meledak setelah sebelumnya terguling beberapa kali.
***

Nama Bayu mulai tersohor di sekolah. Kemampuannya yang bisa melihat hal yang akan terjadi menyebar dari mulut ke mulut. Hingga tidak sedikit yang minta diramalkan nasibnya. Karena merasa dibutuhkan, akhirnya Bayu memasang tarif, lima ribu untuk tiap satu kali ramalan. Tentu saja botol berisi kertas itu selalu menemani saat meramal.

“Bay, kelebihan lo bukan buat nyari keuntungan. Lo nggak boleh salah gunain itu!” tegur Abas dengan suara berbisik saat pelajaran Fisika.

“Ya elah, Bas, gue cuma pengen bantu anak-anak kok.”

“Tapi nggak gitu caranya.”

“Suka-suka gue lah!”

“Terserah deh, yang penting gue udah ingetin. Jangan ngeluh kalau kelakuan lo akan bikin masalah buat diri lo sendiri!”

Bayu sama sekali tidak mengindahkan perkataan Abas. Ia justru makin menjadi. Dari hari ke hari ‘pasiennya’ makin membludak. Tiap ada waktu luang, tempat duduknya selalu dikerumuni. Lama-lama ia jadi kewalahan.

Sampai pada suatu hari, begitu bel pulang berbunyi, kelasnya langsung diserbu anak-anak yang ingin diramal. Bayu tidak sanggup melayani mereka yang berdesakan dan saling dorong. Keadaan kelas jadi rusuh, bahkan beberapa anak ada yang bertengkar. Seseorang yang kesal dengan sengaja melemparkan bola basket ke arah Bayu. Refleks cowok itu melindungi kepalanya dengan kedua tangan, tapi ternyata bola basket itu berbelok sendiri dan terlempar ke luar kelas.

Saat perhatian orang-orang tertuju pada bola basket yang berubah arah, secepat kilat Abas menarik tangan Bayu dan membawanya pergi dari sekolah.

“Sob, thanks banget ya, lo udah nyelametin gue dari anak-anak rusuh itu,” ujar Bayu begitu mereka sampai di rumah Abas.

“Iya. Lo sih, udah gue bilangin juga!”

“Iya, sorry. Eh, tapi kok tuh bola bisa belok gitu ya arahnya? Aneh.”

Abas tak merespon. Dia malah pura-pura sibuk mencari DVD, membuat Bayu curiga.

“Woy, Bas, kok lo nggak jawab? Jangan-jangan lo yang bikin tuh bola belok.”

“Ngaco lo. Mana gue tahu!”

“Ngaku aja deh!”

Abas masih diam. Ia melirik malas.

“Jadi benar nih, Bas? Lo … lo punya ilmu … telekinetik? Kok lo nggak cerita-cerita ke gue sih?”

“Males gue cerita sama lo, entar lo aneh-aneh!”

“Berarti dugaan gue selama ini benar, Bas. Lo inget kan, sebelum kita ditabrak mobil ada cahaya yang keluar dari dalam botol? Itu pasti kekuatan supranatural yang dimiliki botol ini dan kita terpapar kekuatan dari radiasi cahayanya,” oceh Bayu penuh semangat sambil menunjuk-nunjuk botol dalam genggamannya.

“Emang ada orang punya kekuatan cuma karena radiasi?”

“Ada!” Bayu sangat yakin. “Mpok Nori aja bisa nyembuhin penyakit cuma pake batu yang dia dapet waktu disambar petir.”

“Mpok Nori? PONARI!”

“Hah, jadi bukan Mpok Nori? Terus Mpok Nari itu siapanya Mpok Nori, Bas?”

“Tanya aja tuh sama tembok!”

“Ya udah, gue balik dulu ya, mau semedi.” Bayu pamit sambil melangkah keluar, Abas mengekor.

“Nggak usah aneh-aneh lagi lo!”

Bayu terbahak, “Bercanda. Kaku banget sih lo kayak kanebo kering.”

Baru beberapa langkah dari pagar, tiba-tiba ada sepeda motor melaju dengan kencang dari arah berlawanan. Refleks Abas menggunakan kemampuannya untuk memindahkan tubuh Bayu agar tidak tertabrak. Cowok itu terlempar dan membentur pagar rumah hingga tak sadarkan diri.
***

Perlahan-lahan Bayu membuka matanya. Dilihatnya Abas duduk di sebelah tempat tidur sambil memainkan gadget. Di meja sebelah tempat tidur tergeletak botol berisi kertas itu.

“Bas,” panggil Bayu.

“Eh, Bay, udah sadar?”

“Gue di mana, Bas?”

“Rumah sakit.”

“Rese banget tuh orang, naik motor kebut-kebutan gitu!” omel Bayu.

Abas bingung, “Kebut-kebutan? Siapa?”

“Itu yang hampir nabrak gue di depan rumah lo. Masa lo lupa sih. Untung lo bisa telekinetik. Kalo nggak ... aduh, nggak tahu deh jadi apa gue sekarang.”

“Di depan rumah gue? Telekinetik? Ngaco lo. Sejak kapan gue punya ilmu kayak gitu?”

“Ya sejak kita kecelakaan itu, Bas. Gue yang kebentur kok lo yang amnesia sih?”

Abas makin tak mengerti, “Bay, dari tadi sore pas habis ditabrak mobil, kita tuh di sini, nggak kemana-mana. Nggak ke rumah gue, nggak ada orang ngebut dan nggak ada juga ilmu yang lo bilang tadi. Nih, tangan gue aja masih diperban.”

Bayu ternganga mendengar penjelasan Abas, “Lo serius, Bro? Lo benar-benar nggak ngalamin semuanya? Kemampuan telekinetik lo, prekognision gue dan semua kejadian aneh itu.”

“Kejadian apa sih, Bay? Lo mimpi kali!”

“Mimpi? Nggak mungkin!" Bayu menggelang berkali-kali. 'Jadi gue cuma ....” Bayu kembali terkulai lemah.
***

Demi memenuhi rasa penasarannya, Bayu mengajak Abas untuk menyelidiki tentang botol berisi kertas itu. Setelah bertanya ke sana-sini pada penduduk sekitar pertigaan dengan menyebutkan ciri-ciri orang yang dimaksud, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah sederhana di pojok komplek, yang ditanami banyak pohon di halamannya. Suasana rumah yang terlihat sepi membuat mereka agak merinding. Tapi Abas memberanikan diri mengetuk pintu.

Seorang wanita paruh Baya keluar. Wajahnya terlihat biasa, tidak ada kesan angker atau misterius.

“Siapa ya?” tanya wanita itu.

“Saya Abas. Ini teman saya, Bayu.”

“Ada perlu apa?”

Bayu menjelaskan maksud kedatangan mereka berikut ciri-ciri pria misterius dan botolnya.

Setelah mendengar penjelasan Bayu, wanita itu langsung mengajak keduanya duduk di ruang tamu. Dia menyerahkan sebuah figura yang didalamnya terpampang foto seorang laki-laki.

“Dia yang kalian maksud?”

Bayu mengangguk.

“Itu anak saya, namanya Muji. Sejak remaja, dia sangat terobsesi menjadi paranormal. Sampai dia belajar berbagai ritual aneh dari buku-buku mistis yang sering dibacanya. Bertahun-tahun, sampai beranjak dewasa. Tapi karena obsesinya tidak pernah tercapai, jiwanya jadi terganggu. Semalam kami membawanya ke rumah sakit jiwa, karena kelakuannya terkadang meresahkan warga,” cerita si ibu.

Abas menahan tawa, sementara Bayu ternganga tak percaya.

“Terus kertas ini isinya apa?”

“Buka saja.”

Bayu mengeluarkan kertas dari dalam botol. Ia melemah di tempat duduknya begitu melihat tulisan di dalam kertas.

1 Kg cabai merah
¼ Kg Bawang merah
2 liter minyak goreng


Si ibu tertawa. “Itu daftar belanjaan Ibu yang hilang tiga hari yang lalu.” ***


Yap, itulah cerpen yang ... ah, entahlah. rada klise memang.
Silakan, bagi yang mau berkomentar. Ditunggu ya ... :)

Selasa, 08 September 2015

Percikan : Kaos Kaki Bolong. Dimuat di majalah GADIS edisi 18 - 25 Agustus 2015



Alhamdulillah ... ini percikan ke dua yang dimuat di majalah Gadis.
Tapi masih belum bisa tembus cerpen. Hiks.
Tak apalah. Semoga ke depannya bisa menghasilkan karya yang lebih berkualitas. Aamiin. :)

Selamat membaca karya sederhana ini ... :)


Kaos Kaki Bolong

Fiuh! Lelah. Acara kerja bakti persiapan ulang tahun sekolah ternyata cukup menguras tenaga. Dari pagi sampai tengah hari begini belum selesai juga.

Mataku melanglang, mencari tempat yang kira-kira nyaman buat istirahat sejenak sebelum sholat dan makan siang. Aku duduk di salah satu akar yang mencuat ke permukaan tanah dan menyelonjorkan kaki. Kulepas kedua sepatuku, agar kaki-kakiku bisa sedikit lebih rileks. Tapi ….

“Ya ampun … kok bisa salah pakai kaos kaki sih?!” pekikku panik. Kaos kaki yang kupakai di sebelah kanan ternyata robek di bagian kiri, hingga ibujari-nya menerobos keluar.

“Cindy!”

Suara panggilan seseorang mengagetkanku. Dewa! Cowok itu sedang berjalan beberapa meter ke arahku. Aku harus cepat-cepat menyembunyikan penampakan kaos kakiku yang robek ini. Gawat kalau sampai Dewa melihatnya, bisa ilfeel dia sama aku. Dan proses pedekate-ku sama dia bisa kacau. Tapi, karena gugup, aku malah jadi sulit memasang sepatuku dengan benar. Rasanya susah sekali memasukkan kakiku ke sana. Secepat kilat aku melipat kaki.

“Sendirian aja, Cin?” tanya Dewa sambil mengambil tempat di sebelahku. Ia melihat ke arah kakiku. “Hey, kakinya jangan dilipat kayak gitu. Nanti kram lho.”

Aku tersenyum kikuk. “I-iya, ini … memang lagi kram. Nggak bisa dilurusin.”

Aduh. Kenapa aku kasih jawaban itu? Bodoh! Dewa jadi makin mendesakku untuk meluruskan kaki. Dia berusaha untuk meraihnya.

“Jangan! Ini juga lagi kesemutan. Jangan dipegang!” sergahku buru-buru.

Wajah Dewa telihat makin panik. “Kalau begitu aku cariin minyak urut, atau apa gitu yang bisa dipakai buat obat. Siapa tahu di UKS ada. Kamu tunggu di sini!”
***

“Cindy. Kenapa tadi kamu pergi? Padahal aku udah bawain obatnya,” seloroh Dewa dengan mimik kecewa saat tak sengaja kami bertemu di depan mushola sekolah, hendak sholat Dzuhur.

“Maaf. Tadi aku kebelet pipis, udah nggak tahan.”

“Terus sekarang gimana kaki kamu, udah baikan?”

Aku mengangguk kecil sambil memaksakan seulas senyum yang pasti sangat nggak enak dilihat. “Iya, udah baikan kok. Udah ngak apa-apa.”

Usai sholat, aku mendengar suara ribut-ribut di depan mushola. Aku berjalan cepat ke luar. “Ada apa sih?” tanyaku pada Mawar, teman sekelasku.

“Itu, anak-anak cowok pada lempar-lemparan kaos kaki bolong.”

Demi apa? Aku nggak salah dengar? Gawat! Jangan-jangan itu kaos kakiku. Apa yang harus aku lakukan?

Cowok-cowok itu makin asyik dan seru saling melempar kaos kaki berwarna putih itu dengan tampang jijik tapi menyebalkan. Aku sudah nggak tahan lagi melihatnya.

“Hey, cukup! Nggak sopan, tahu!”

Gerakan mereka berhenti. Salah seorang memandangku dengan tatapan mengejek. “Kenapa? Memang kaos kaki ini punya kamu?”

Aku gelagapan. “Ya … punya siapa pun itu nggak penting. Yang jelas itu nggak sopan!”

Kaos kaki itu dilempar ke arahku dengan kesal. Mereka menyorakiku. Kerumunan itu pun bubar. Tapi … kenapa Dewa masih di sini? Apa dia curiga kalau kaos kaki ini milikku?

“Cin, terima kasih, ya. Kamu udah menyelamatkan aku.”

Dewa tetunduk. Ia melirikku malu-malu. “Hmm … kaos kaki itu … punya aku.”

Aku ternganga. Nggak salah dengar? Dewa mengakui kaos kaki itu miliknya? Lalu di mana kaos kakiku? Buru-buru aku mencari sepatuku yang ada di pojok. Aku mengeceknya. Dan ternyata kaos kakiku memang masih ada. Tanpa sadar aku mengeluarkan kaos kaki itu dari dalam sepatu dan menggantungnya dengan tanganku tepat di depan wajah.

“Jadi kaos kaki kamu juga bolong?” tanya Dewa mengembalikan kesadaranku. Dia tertawa. Aku jadi ikut tertawa geli. Ternyata bukan cuma aku yang kaos kakinya bolong. ***



Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Tulisan ini tentu masih banyak kekurangan.
Semoga bisa bermanfaat dan memberi inspirasi... *sok-sok-an aja gue -_- Hihihi.
Mari terus berkarya!! :)