Sabtu, 12 Maret 2016

Cerpen : Move On(i)

Cerpen ini ... ah, entah harus diapain lagi. Udah mentok. Ditolak sama dua majalah. Huhu :'(
Abadikan di sini aja deh.
Selamat membaca cerpen aneh ini :D

Move On(i)


Oni membanting sebuah novel dengan keras ke lantai kamar. Ia meremas rambut bondolnya. Ruangan yang biasanya selalu riang dengan alunan musik Jazz yang easy listening itu, beberapa hari terakhir terasa lebih sendu dan buram, karena berganti menjadi pusat segala kegalauan dengan lagu-lagu mellow yang diputar hampir sepanjang waktu.

Sudah tiga hari gadis bertubuh mungil itu tidak masuk sekolah. Bukan karena sakit atau sedang liburan, tapi karena galau. Galau akut! Begitu pendapat Kaira, sahabatnya. Ya, Oni memang sedang galau akut. Fandy, mantan pacar yang sangat diharapkan akan kembali padanya, justru semakin menjaga jarak dan meminta Oni untuk menjauhinya.

“Kayaknya mulai sekarang kita harus jaga jarak. Kamu harus jauhin aku, atau aku yang jauhin kamu!” tandas Fandy dingin empat hari lalu, saat pemuda jangkung itu sengaja menemui Oni di perpustakaan, tempat favorit Oni bila sedang ada jam pelajaran kosong.

“Kenapa? Aku salah apa?” Oni refleks menutup bukunya.

“Kamu tahu ‘kan aku udah punya pacar? Aku nggak mau ada salah paham sama pacarku cuma karena kamu.” Fandy mengakhiri titahnya, kemudian bangkit dan meninggalkan Oni yang membeku di kursinya.

Kejadian itu benar-benar menohok di hati Oni. Ia merasakan sakit yang lebih dalam dari sekadar mendengar kata putus yang diucapkan Fandy sebulan lalu. Ini lebih menyakitkan baginya. Hingga gadis pecinta buku itu merasa tak punya semangat belajar. Apalagi untuk datang ke sekolah dan bertemu Fandy yang satu kelas dengannya.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar. Oni kontan menoleh. Didapatinya Kaira yang masuk terburu dengan wajah cemas. Rambut hitam lurusnya yang hampir mencapai pinggang berayun mengikuti gerak tubuh langsingnya.

“Ketuk pintu dulu bisa nggak sih?” protes Oni sambil melotot.

“Gue udah ketuk dari jaman Sun Go Kong masih jadi batu, lo aja yang nggak dengar!” Kaira sewot sendiri. Ia sudah panik karena sahabatnya itu sama sekali tak merespon ketukannya tadi.

Oni mendengus, lalu kembali membenamkan wajahnya di atas bantal. Sejak tadi ia berbaring dengan posisi menelungkup, dengan kedua tangannnya menggantung di sisi tempat tidur.

“Gila, ini kamar atau kapal pecah? Lo habis ngamuk? Dasar galau akut!” Kaira memandang takjub. Ia memungut novel yang tadi dibanting Oni. “Segitunya banget sih, cuma gara-gara Fandy si sok kegantengan itu. Nggak penting, tau nggak?”

“Kalau cuma mau ngeledekin gue, mending pulang sana!” Oni menatap sinis.

“Sensi banget sih lo! Gue ke sini justru karena gue peduli.”

Lagu Melewatkanmu milik Adera mengalun sendu. Oni mengubah posisinya jadi telentang. Ia memejamkan mata. Perlahan semua kenangan bersama Fandy muncul satu persatu, bagai adegan dalam film drama romantis yang sering ditontonnya. Tawa, canda, kemesraan dan semua kehangatan yang pernah tercipta. Manis. Sebentuk senyum kecil tercetak di bibirnya yang pucat.

Namun, kenangan manis itu terasa begitu pahit, saat ia kembali menyadari bahwa semua hanya tinggal kenangan yang tak mungkin lagi bisa terulang. Kenangan yang mungkin sudah dihapus Fandy dari ingatannya, tanpa bekas. Sebuah bulir bening menetes dari sudut matanya yang masih tertutup. Ia merasakan sesak yang teramat. Makin lama makin sesak. Hingga ia tak sanggup lagi membendung tangisnya. Oni sesenggukan.

Kaira yang sejak tadi secara sukarela sibuk membereskan barang-barang yang berserakan di kamar Oni, tersentak mendengar suara tangis itu. Bergegas ia menghampiri Oni. “Ya ampun, Oni.” Ia memeluk sahabatnya.

***

“Hai, Oni, lo sakit apa? Kok beberapa hari ini nggak masuk sekolah?” tanya Dina polos pada Oni yang sedang serius memasukan refill ke dalam pensil mekaniknya.

Karena kaget, Oni terlalu keras mendorongnya, hingga refill itu patah. Huh, Dina! Udah matahin hati gue, sekarang matahin pensil gue. Rese banget sih nih anak! omelnya dalam hati.

Sebenarnya Oni tidak sudi meladeni Dina, tapi ia harus tetap bersikap wajar di depan gadis chubby itu. Bukan salah Dina jika Fandy sekarang menjauhinya. Dina tidak tahu perihal hubungan yang pernah dimiliki Oni dan Fandy. Mereka memang merahasiakan dari teman-teman sekelas, hanya Kaira yang tahu. Tapi tetap saja, kehadiran Dina dalam hubungannya dengan Fandy seperti pil pahit yang dilarutkan dalam susu di waktu sarapan. Membuat mual!

“Gue nggak apa-apa kok. Cuma nggak enak badan sedikit.” Oni memaksakan sebentuk senyum.

Seperti biasa, Dina lantas mengoceh panjang lebar. Tentang ekskul menulis yang mereka ikuti, tentang pelajaran, juga tentang hubungannya dengan Fandy. Selalu seperti itu. Andai Dina tahu siapa Oni….

Dari pojok belakang, sepasang mata sejak tadi mengamati dua gadis itu dengan tatapan seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Dingin dan tajam. Wajahnya kaku, menyiratkan ketidaksukaan pada apa yang sedang dilihatnya. Ya, Fandy memang tak pernah suka melihat Oni berbicara dengan Dina. Ia terlalu takut kalau Oni akan membocorkan tentang hubungan mereka dulu.

Memang sulit terjebak dalam hubungan yang rumit. Andai saja dulu Oni tak pernah merespon pedekate yang dilancarkan Fandy saat ia putus dari Dina, mungkin cinta segitiga ini takkan pernah ada. Saat ia sedang berbunga-bunga dengan sikap manis dan romantis Fandy, ia mendapati kenyataan bahwa Fandy diam-diam kembali menjalin hubungan dengan Dina. Walaupun hubungan itu tidak bertahan lama. Ya, Oni diduakan.

Tapi, cinta telah membutakan mata Oni. Bukanya marah, ia justru berpura-pura tidak tahu tentang hal tersebut. Ia tetap manjadi pacar yang baik untuk Fandy. Walaupun Fandy yang tempramen kadang bersikap kasar padanya tanpa alasan yang jelas. Bahkan setelah putus, mereka masih menjalin hubungan tanpa status, padahal Oni tahu Fandy kembali lagi pada Dina. Ia sudah seperti selingkuhan. Sementara Dina… gadis berponi depan itu masih belum tahu apa-apa. Entah kapan ia akan tahu. Atau mungkin tidak akan pernah tahu.

Kini Oni semakin berada di posisi yang sulit. Harus melihat Fandy dan Dina berduaan setiap hari. Sementara ia sama sekali tak bisa protes dan menuntut apapun dari Fandy. Bahkan sekadar pengakuan hubungan mereka. Perih.

***

Kening Kaira berkerut saat melihat Oni sedang serius di depan laptop, hingga tak menyadari Kaira masuk ke kamarnya. “Lagi ngapain lo? Serius amat?”

“Bikin video,” jawab Oni tanpa mangalihkan fokusnya dari layar laptop.

“Video apaan?”

“Foto-foto gue sama Fandy. Ada lagunya juga. Kayak video klip gitu.” Oni menoleh sesaat pada Kaira, memamerkan senyum kecil. “Buat kado ulang tahunnya minggu depan.”

Mata Kaira yang bulat melotot lebar, seolah mau lompat. “Hah? Masih aja sih lo mikirin kado buat dia?! Dia aja udah nggak peduli sama lo. Lupa kalo dia minta lo buat jauhin dia?”

Oni bangkit dari kursinya, pindah duduk di tepi tempat tidur. “Terserah dia mau bersikap seperti apa ke gue. Yang penting dia tahu, pernah ada orang yang benar-benar tulus sayang sama dia sepenuh hati.”

Kaira duduk di sebelah kiri Oni. “Be smart, Ni. Jangan bodoh! Nggak selamanya cinta itu melulu pakai hati dan perasaan. Pakai logika lo! Nggak ada gunanya lo kasih itu ke dia. Lo sendiri yang selalu bilang, kalau dia memperlakukan lo kayak tong sampah. Sekarang lo mau jadi tong sampah lagi?”

“Gue udah niat mau kasih itu sejak kami belum putus.” Oni menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sekaligus. “Gue akan tetap kasih itu ke dia, nggak peduli apa pun reaksinya nanti.”

“Terserah lo deh!” Kaira sudah tak tahu lagi harus berkata apa. Oni memang keras kepala. Gadis itu selalu mengikuti apa kata hatinya, walaupun itu akan menyakiti dirinya sendiri. Terutama setiap hal yang berhubungan dengan Fandy. Oni akan lebih rela hatinya tersakiti hanya demi tetap dapat melihat Fandy tersenyum. Ah, cinta memang bodoh!

***

Hari ini ulang tahun Fandy. Sejak berangkat tadi pagi, Oni sudah bertsemangaat akan menyerahkan video itu. Ia tak peduli lagi bagaimana reaksi yang akan diberikan Fandy atas kadonya tersebut. Benar-benar tak peduli! Ia hanya ingin Fandy tahu, bahwa sampai detik ini, rasa sayangnya pada pemuda itu masih sangat besar. Seperih apa pun luka yang telah ditorehkan Fandy di hatinya, sedikit pun tidak mengurangi rasa sayang dan cintanya. Ia sangat ingin Fandy kembali padanya. Kembali bersikap lembut dan penuh canda. Meski bukan lagi sebagai pacar.

Kebetulan saat itu keadaan kelas sedang sepi, hanya ada Oni dan Fandy. Teman-teman sekelas mereka langsung berebutan menuju kantin begitu bel istirahat berbunyi, termasuk Dina. Baru saja Oni hendak berdiri menghampiri Fandy yang tadi dilihatnya sedang duduk sambil membaca buku, ia tersentak dengan kehadiran pemuda itu yang tiba-tiba sudah berdiri angkuh di sebelahnya.

“Senang ya aku putus? Puas?!” tanya Fandy getas dengan sorot mata tajam yang menukik tepat di manik mata Oni.

Oni yang belum siap kontan ternganga mendengar pertanyaan yang lebih mirip tuduhan itu. “Ma-maksud kamu apa?” Oni terbata.

“Aku udah putus sama Dina. Kamu senang ‘kan sekarang? Puas, ‘kan?!” suara Fandy terdengar makin sinis.

Oni tak habis pikir, mengapa mereka tiba-tiba putus? Lalu mengapa Fandy justru marah padanya atas keadaan itu? Emosinya jadi tersulut. Ia berdiri, menantang mata Fandy. “Kamu nyalahin aku?” Nada suaranya naik satu oktaf.

Fandy mendesis, tak menyangka reaksi yang diberikan Oni. “Jangan pernah ganggu aku lagi!” tegasnya, kamudian berlalu dengan langkah kasar. Di depan pintu ia berpapasan dengan Kaira yang mematung.

“Aaarrgghh!!” Oni mematahkan keping CD yang sejak tadi berada dalam genggamannya, lalu membanting patahannya ke lantai. Hatinya sakit. Sangat sakit! Tak pernah terlintas sedikit pun di kepalanya jika Fandy bisa mengucapkan kata-kata menyakitkan itu padanya. Ia terduduk lemah. Menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lagi, ia menangis.

Kaira yang tadi tak sengaja menyaksikan kejadian itu, bergegas menghampiri Oni, lalu memeluknya. Sebagai sahabat, ia dapat merasakan luka yang dirasakan Oni. 
“Gue nggak menyangka Fandy setega itu sama gue, Kai,” ujar Oni di tengah isak.

“Gue kan udah sering bilang, Ni, cowok kayak gitu nggak pantas lo harapkan. Dia udah nggak peduli sama lo. Malah udah nggak segan buat menyakiti lo. Terima kenyataan, kisah kalian itu udah berakhir. Semua memang pernah indah, tapi itu dulu. Nggak mungkin bisa terulang lagi. Jangan terus menyakiti diri sendiri hanya karena orang yang bahkan udah nggak menganggap lo ada!”

Tangisan Oni makin menjadi mendengar ucapan Kaira. Ia memejamkan mata, mencoba mencerna semua kata-kata Kaira. Bukan hanya yang barusan, tapi semua. Semua yang pernah diucapkan sahabatnya itu untuk membuka matanya yang buta oleh cinta. Ya, Kaira benar, selama ini ia terlalu bodoh. Ia bodoh karena cintanya yang tak pernah memakai logika.

Sudah begitu banyak yang ia korbankan. Rambutnya yang panjang dengan tega dipotongnya jadi bondol saat stress Fandy memutuskan hubungan mereka. Waktu, perasaan dan air mata, sudah banyak yang terbuang sia-sia. Bahkan pelajaran pun ikut terabaikan. Ah, cinta yang salah penempatan memang bisa merusak hidup seseorang. Dan Oni menyadari, kalau hidupnya terlalu berharga untuk disia-siakan dengan kisah remeh-temeh itu.

“Ikhlas, Ni. Relakan Fandy. Hidup lo nggak akan tenang kalau lo nggak ikhlas.”

***

Oni berdiri tegak di hadapan Kaira. Menatap mata sahabatnya dengan binar semangat yang sudah lama hilang. Kedua tangannya memegang sebelah kotak berbahan kaleng berukuran 30x20x15cm, berisi barang-barang kenangannya bersama Fandy. Ada boneka, foto-foto, bunga, syal, sampai berlembar-lembar puisi. “Lo harus jadi saksi detik-detik gue untuk move on dari Fandy!”

Kaira tersenyum mendengar ucapan Oni. Ia langsung memeluk sahabatnya itu dengan erat. Inilah Oni yang dikenalnya dulu. Gadis periang yang penuh dengan semangat. Sosok inilah yang sangat dirindukannya.

Ditemani Kaira, Oni membakar semua benda dalam kotak itu sampai hangus. Bongkahan luka yang selama ini menyesaki hatinya, seolah ikut terbakar bersama barang-barang itu. Hatinya terasa lega. Sangat lega. Akhirnya ia bisa kembali merasakan semangat hidupnya, seperti hari-hari sebelum ia dekat dengan Fandy. Ditatapnya Kaira yang sedang tersenyum lembut. Tersirat sebuah kelegaan pula dari mata Kaira.

Hidup memang terlalu singkat untuk dilewatkan dengan meratapi apa yang tak seharusnya diratapi. Jalan ini masih panjang, dan gue harus semangat menatap masa depan gue! Tekad Oni dalam hati. ***

1 komentar:

  1. Bagus .. Di tunggu cerita lanjutan nya ka salmah o(^▽^)o

    BalasHapus